MANA LEBIH ENAK, DICERAI MATI ATAU HIDUP?

Ada teman berkisah kepada saya. Dia ditinggal suaminya kawin lagi. “Sakiiit…kali din, rasanya kepingin ncekik aja. Ncekik dia ato simpanannya itu!” wah berapi-api sekali dia menceritakannya. Pertama-tama dia melotot, geram sekali kelihatannya, kemudian bersumpah-serapah dengan lancarnya, akhirnya tersendat-sendat karena isaknya mulai jatuh. Dan akhirnya menangis tersedu. Saya sampai iba sekali melihatnya. “Mungkin lebih enak bila dicerai mati ya din, kita tahu bahwa suami kita setia sampai mati. Tak menyakiti sampai akhirnya meninggalkan kita karena umur..” ratapnya di pelukan saya. Saya diam saja mendengarnya. Lantas berpikir, benarkah dicerai maut itu lebih enak dari pada dia kawin lagi?
Hari itu saya sedang menunggu beberapa murid-murid untuk mengajar. Kebetulan hari sabtu adalah hari dimana saya mengajar latihan tambahan untuk murid-murid di bidang seni tari. Dari pada bengong iseng saya mendekati seorang ibu yang sedang membersihkan meja panjang di depan rumahnya. Dia adalah penjaga sekolah SD di depan SD tempat saya mengajar. Kebetulan di tempat saya mengajar ini ada dua sekolah. Kebetulan lagi memang saya masih baru mengajar di SD ini,jadi belum mengenal penduduk sekitar. Berbasa-basi saya mendekatinya dan mengajaknya mengobrol. Ternyata ia sudah menjaga sekolah itu selama belasan tahun. Suaminya bahkan sudah mendapat predikat PNS (Pegawai Negeri Sipil). Namun sayang, suaminya telah berpulang ke Rahmatullah setahun yang lalu. “Tabrakan, kak,” kisahnya pada saya. Meninggalkan enam anak perempuan yang masih kecil-kecil dan satu jabang bayi di perut istrinya ketika itu. Yang mengiris hati saya saat ia menceritakan bahwa sebenarnya suaminya itu sangat kepingin punya anak laki-laki. Niat punya dua anak saja sampai kebablasan jadi tujuh saking kepinginnya. Namun ia tak pernah bisa melihat anaknya yang ketujuh. Almarhum pergi untuk selamanya saat kehamilan istrinya memasuki bulan kesembilan. Dan saat lahir, ternyata bayi itu berjenis kelamin laki-laki. Seperti yang diidamkan almarhum suaminya. Dan tragisnya lagi, anak itu, terpaksa diadopsi orang lain karena sang ibu merasa tak mampu mengurusnya dengan keadaannya yang harus menanggung enam anak yang masih kecil-kecil. Anak yang diidamkan almarhum suaminya pun harus “pergi” juga karena ketidakberdayaan ekonomi.
Kini, sembari mengandalkan pensiunan suaminya yang hanya golongan rendah, dia berjualan sedikit-sedikit di depan rumahnya. Cukup? Mungkin tak akan pernah. Tapi dilakoninya juga demi bayi-bayi manisnya. Ditambah rasa was-wasnya menanti keputusan dari pihak sekolah yang mungkin akan mengganti tempat suaminya sebagai penjaga sekolah dengan orang baru untuk menghuni rumah dinas penjaga sekolah yang selama ini ditempatinya tanpa biaya. Ketika saat itu tiba, dia harus meninggalkan kembali satu-satu tempat yang aman, gratis dan yang terpenting bisa mendekatkannya dengan bayang-bayang almarhum suaminya.
“Lho, kok begitu? Memangnya kalau suaminya meninggal, istrinya nggak boleh gitu jadi penjaga sekolah?” protes saya terkejut.
“Yaaa…nggak bolehlah, kak. Namanya juga yang PNS kan suami, bukan saya. Jadi kalo dia diganti, ya kami mesti pindah.” Jawabnya pelan. Susah juga kalau sudah sistem yang bicara.
“Tapi bu, bukannya lebih baik kita dicerai mati begini dari pada si bapak kawin lagi mungkin…”seloroh saya.
“Yang namanya dicerai itu nggak ada yang enak,kak. Laki (suami) kawin lagi kita merasa diperlakukan nggak adil. Ditinggal mati kaya gini, nggak ada masalah nggak ada ujan nggak ada angin istilahnya, awak ini limbung kak, hancur sekali rasanya hati ini.” Ceritanya panjang lebar.
Saya tercenung mendengar nasibnya. Begitu pahit kisah yang telah dan mungkin akan lebih pahit lagi yang akan menimpanya, tapi dia menceritakannya kepada saya dengan wajah polos, pancaran mata yang pasrah dan nrimo. Manusia hanya bisa merencanakan, Tuhanlah penentunya, menjadi kata-kata mutiara seribu arti bagi ibu itu.
Saya jadi teringat teman saya yang ditinggal suaminya kawin lagi. Apakah ia masih merasa nasibnya lebih buruk dari yang dialami ibu ini?(Deen)

6 komentar di “MANA LEBIH ENAK, DICERAI MATI ATAU HIDUP?

Tinggalkan komentar